Ujung Musim Semi Sawit dan Batu Bara
Ujung Musim Semi Sawit dan Batu Bara
Media Name :
Koran Tempo
Publish Date :
Monday, 06 December 2021
News Type :
Article
Section/Rubrication :
Ekonomi dan Bisnis
News Page :
-
News Size :
1 mmk
News Placement :
Front Cover Page
News URL :
-
Journalists :
Vindry Florentin
Mindshare :
Mineral Dan Batu Bara
Tonality :
Positive
Topic :
Harga Batubara
Ads Value :
110,000
PR Value :
330,000
Media Score :
-
Media Tier :
-
Resources
  1. Agung Pribadi - juru bicara Kementerian ESDM,
  2. Hendra Sinadia, - Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI),
  3. David Sumual - Kepala Ekonom Bank Central Asia
  4. Togar Sitanggang - Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki)
  5. Sri Mulyani - Menteri Keuangan
  6. Ahmad Heri Firdaus - peneliti dari Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef),
JAKARTA – Pengumuman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 8 November lalu menjadi angin segar bagi pebisnis batu bara. Saat itu pemerintah menyatakan harga batu bara acuan (HBA) pada November mencapai US$ 215,01 per ton. Selain naik 33 persen dibanding pada bulan sebelumnya, ”Angka ini menjadi harga acuan tertinggi dalam puluhan tahun terakhir,” kata juru bicara Kementerian ESDM, Agung Pribadi.

Menurut Agung, HBA melejit bersamaan dengan datangnya musim dingin dan krisis batu bara yang dialami Cina. Walhasil, permintaan dan harga batu bara global meningkat. Dia juga menyebutkan harga komoditas energi lain, seperti gas alam, memberi andil pada kenaikan harga batu bara global. "Fenomena supercycle masih punya pengaruh mendorong kenaikan harga komoditas dasar akibat pertumbuhan ekonomi global pascapandemi," ujar Agung.

Sepanjang tahun ini, harga batu bara mengalami reli yang cukup panjang. Kementerian ESDM mencatat HBA pada Januari mencapai US$ 75,84 per ton dan meningkat menjadi US$ 87,79 pada Februari. Harga sempat turun menjadi US$ 84,47 pada Maret. Namun pada bulan-bulan selanjutnya mengalami kenaikan beruntun hingga akhirnya melampaui US$ 200 per ton. Jauh dibanding pada 2019-2020 saat harga rata-rata batu bara mencapai US$ 60 per ton.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, pun optimistis tren positif ini akan berlanjut hingga tahun depan. Sebab, kata dia, permintaan untuk komoditas energi ini yang masih cukup kuat, bersamaan dengan pemulihan kegiatan ekonomi di beberapa negara. Hendra memperkirakan volume produksi batu bara pada 2022 setidaknya akan sama dengan tahun ini yang mencapai 625 juta ton.

Kepala Ekonom Bank Central Asia, David Sumual, turut mendukung proyeksi tersebut dan menyatakan kebutuhan energi di Cina akan meningkat setelah negara itu membuka kembali pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sebelumnya, Cina sempat menutup operasi PLTU karena alasan lingkungan.

Namun David mengingatkan bahwa pemulihan produksi batu bara tidak secepat kenaikan konsumsi sehingga akan mempengaruhi harganya. Dia memperkirakan permintaan batu bara dari Cina berjalan normal tahun depan sehingga tren kenaikan harga perlahan menurun. “Meski setidaknya, hingga semester pertama 2022, harga komoditas ini tak akan anjlok,” kata dia.

Dalam laporan Commodity Markets Outlook yang diluncurkan pada Oktober lalu, Bank Dunia memperkirakan kenaikan harga batu bara masih bisa bertahan pada awal 2022. “Lalu menurun seiring dengan penurunan permintaan dan produksi meningkat,” demikian bunyi laporan itu. Bank Dunia memperkirakan harga batu bara acuan Australia turun 14 persen tahun depan. Adapun faktor yang mempertahankan harga batu bara adalah potensi musim dingin yang berkepanjangan.

Selain batu bara, reli harga terjadi pada minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Harga CPO dalam dua tahun terakhir berada pada US$ 600-700 per metrik ton. Tahun ini, nilainya membubung hingga US$ 1.100 per metrik ton karena tingginya permintaan.

Dalam keterangannya di forum Indonesia Palm Oil Conference 2021, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Togar Sitanggang, menyatakan kenaikan harga CPO bisa berlanjut tahun depan. “Perkiraan saya masih di atas US$ 1.000 per ton setidaknya pada semester I,” kata dia.

Gapki memperkirakan produksi minyak sawit mencapai 48 juta ton tahun depan, naik dari tahun ini yang mencapai 46,62 juta ton. Jika ditambah dengan produksi minyak kernel sawit (PKO), total pasokan mencapai 51,11 juta ton.

Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap penghiliran minyak sawit bisa ditingkatkan agar nilai ekspor dari komoditas ini semakin besar. Saat ini, kata dia, sumbangan devisa dari CPO mencapai US$ 21,4 miliar atau 14 persen dari total penerimaan ekspor non-minyak dan gas. “Semakin meningkat penghiliran, nilai tambahnya semakin besar sehingga mendatangkan devisa yang lebih besar,” katanya.

Berkat kenaikan harga komoditas, nilai ekspor sepanjang tahun ini naik signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor pada Oktober lalu mencapai US$ 22,03 miliar atau tertinggi sepanjang sejarah. Capaian ini membuat neraca perdagangan surplus US$ 5,73 miliar.

Namun peneliti dari Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengingatkan bahwa tren harga komoditas andalan ekspor, seperti batu bara dan CPO, akan menurun tahun depan karena sudah mencapai rekor tertinggi. Tren ini bakal mempengaruhi ekspor tahun depan. “Kenaikan ekspor komoditas tidak sebesar tahun ini,” ucapnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menyatakan krisis logistik juga akan mempengaruhi tren ekspor batu bara dan minyak sawit tahun depan. “Harga komoditas booming, tapi bisa jadi tidak bisa mengejar target pengiriman karena kontainernya tidak ada,” ujar dia.