Berhati-hati Menerapkan Pajak Karbon
Berhati-hati Menerapkan Pajak Karbon
Media Name :
Media Indonesia
Publish Date :
Monday, 06 December 2021
News Type :
Article
Section/Rubrication :
Fokus
News Page :
A1
News Size :
3,000 mmk
News Placement :
Front Cover Page
News URL :
-
Journalists :
Raja Suhudfe
Mindshare :
Ketenagalistrikan
Tonality :
Positive
Topic :
pajak karbon
Ads Value :
477,000,000
PR Value :
1,431,000,000
Media Score :
50
Media Tier :
1
Resources
  1. Febrio Kacaribu - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
  2. Rida Mulyana - Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM
Pemerintah memperhatikan dampak dari transisi energi terhadap masyarakat dan juga ketahanan fiskal.

INDONESIA telah berkomitmen untuk aktif dalam memerangi dampak perubahan iklim. Komitmen pemerintah untuk mitigasi perubahan iklim telah dirumuskan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emission (NZE). Jumlah karbon yang dihasilkan dari setiap kegiatan atau aktivitas produksi akan diturunkan secara bertahap menuju nol persen.

Sejumlah langkah telah disusun guna mengarahkan pencapaian tujuan pembangunan bebas karbon pada 2060. Bahkan ada ambisi untuk bisa lebih cepat tercapai yakni pada 2040.

Permasalahannya, transisi menuju penggunaan energi bersih sebagai salah satu strategi mencapai low emission carbon itu tidak mudah dan murah. Apalagi ternyata begitu banyak aktivitas masyarakat, baik untuk produksi maupun konsumsi, yang menghasilkan karbon.

Jangankan dari kegiatan bertransportasi, dengan menyantap sepotong daging pun masyarakat telah ikut berkontribusi dalam pelepasan karbon atau emisi gas rumah kaca. Karena itu, bisa saja daging akan menjadi objek dari pajak karbon yang akan diterapkan pemerintah demi mendorong aktivitas rendah karbon.

Belum lagi bila melihat bahwa emisi karbon paling besar berasal dari sektor energi dan transportasi. Berarti akan ada pajak yang bakal dikenakan akibat memproduksi atau menggunakan barang terkait sektor tersebut.

Pemerintah memang akan mengenakan pungutan pajak karbon ini kepada produsen. Akan tetapi, tentu saja produsen tidak akan menanggung ini sendirian. Mereka pun akan membebankan kembali biaya itu kepada masyarakat sehingga harga-harga bakal terkerek naik, dan pada gilirannya memberikan tekanan pada inflasi

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kancaribu mengatakan pemerintah bukan tidak melihat adanya tekanan terhadap harga apabila pajak karbon diterapkan.

Namun, harus dilihat bahwa penerapan strategi rendah karbon bukanlah dalam horizon jangka pendek. Ada jangka panjang dan menengah yang perlu dipahami. Dalam kerangka waktu jangka panjang itulah maka penahapan diatur agar tidak menimbulkan tekanan berlebihan kepada masyarakat dan juga fiskal atau keuangan negara.

Untuk mengikuti perspektif jangka panjang itulah maka objek dan besaran dari pajak karbon itu diterapkan secara bertahap.

“Pada tahap awal di 2022, pajak karbon akan diterapkan pada pembangkit listrik yang menggunakan batu bara. Besarannya pun tergolong masih rendah dibandingkan dengan di negara lain yakni Rp30 ribu per tonCO2 ekuivalen (tC02e),” kata Febrio dalam perbincangan dengan editor ekonomi, pekan lalu.

Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan tarif pajak karbon sebesar itu masih relatif rendah jika dibandingkan dengan yang diterapkan di negara lain.

Singapura, misalnya, memiliki tarif pajak karbon sebesar USS4 per tC02e. Demikian pula beberapa kota di Tiongkok. Adapun Tokyo atau Jepang menerapkan USS5 per tC02e.

“Umumnya harga karbon berada di kisaran USS40 hingga US$80 per cCO2e. Negara-negara di Eropa dan Amerika Utara yang ambisius menerapkan harga karbon di atas itu. Kita masih sangat murah, hanya sekitar US$2 per tC02e,” jelas Rida dalam kesempatan yang sama.

Adil dan terjangkau

Febrio menambahkan, dalam berbagai ajang pertemuan dunia yang membicarakan masalah pajak karbon dan transisi energi, selalu digaungkan konsep keadilan. Artinya yang menghasilkan karbon besar berarti harus membayar lebih.

“Tapi kita selalu menambahkan bahwa just (adil) saja tidak cukup, tapi juga harus affordable atau terjangkau. Oleh karena itu, kita menerapkan pajak karbon ini secara hati-hati dan terukur,” ujarnya.

Hingga dua tahun ke depan, hanya sektor kelistrikan yang mendapatkan pajak. Itu pun akan menggunakan metode tax and caps.

Jadi, nantinya perusahaan akan dihitung besaran karbon yang masih bisa ditoleransi dan diberi kesempatan untuk mengompensasi karbon yang dihasilkan dengan upaya pengurangan emisi karbon (offset). Dengan begitu, sisa karbon lebih saja yang dikenai pajak karbon.

Dalam road map yang disusun pemerintah baru pada 2025, perluasan objek pajak karbon akan dilakukan. Namun, itu pun masih akan memperhatikan perkembangan situasi dan kemampuan dari tiap sektor.

“Kita juga berharap pada 2025 implementasi perdagangan karbon secara penuh melalui bursa karbon dapat terlaksana,” kata Febrio.

Yang pasti, tambah Rida, penerapan pajak karbon dilakukan dalam upaya mendorong timbulnya perilaku yang concern pada rendah karbon.

“Kita tidak ingin nantinya perilaku concern dengan karbon tidak berubah. Hanya karena mampu membayar (pajak karbon) lalu tetap bisa memproduksi banyak karbon. Kita ingin ada perubahan menuju zero emission carbon,” tandasnya. (E-3)