Kebijakan Komprehensif Jadi Fokus
Kebijakan Komprehensif Jadi Fokus
Media Name :
Bisnis Indonesia
Publish Date :
Friday, 03 December 2021
News Type :
Article
Section/Rubrication :
Editors Choices
News Page :
3
News Size :
1,725 mmk
News Placement :
Inside Page
News URL :
-
Journalists :
Rayful Mudassir, Inria Zulfikar
Mindshare :
EBTKE
Tonality :
Neutral
Topic :
Transisi Energi
Ads Value :
215,625,000
PR Value :
646,875,000
Media Score :
-
Media Tier :
-
Resources
  1. Hendra Sinadia - Direktur Eksekutif APBI
  2. Hendri Tamrin - Wakil Ketua APBI
  3. Irwandy Arif - Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara
  4. Tubagus Nugraha - Asisten Deputi Pertambangan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi
  5. Singgih Widagdo - Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF)
Bisnis, JAKARTA - Kalangan dunia usaha yang menggeluti bisnis batu bara masih dihinggapi optimisme tinggi terhadap permintaan komoditas tersebut sekalipun tekanan dunia untuk aksi nyata transisi energi kian kencang.

Transisi energi tersebut kian dicermati oleh pemerintah, antara lain dengan memandang perlunya membuat persiapan yang lebih matang dan terarah, termasuk dari sisi regulasi dan iklim investasi yang jauh lebih menarik untuk menggaet penda-naan jumbo di berbagai proyek energi hijau.

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mencatat bahwa permintaan tidak saja berasal dari pasar internasional atau ekspor tetapi juga kebutuhan yang tinggi di dalam negeri.

Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan bahwa sekitar 75% dari total produksi dalam negeri ditujukan untuk memenuhi pasar ekspor sementara sisanya untuk mencukupi permintaan pasar domestik.

Adapun sekitar 98% dari total ekspor dikirim ke negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sejauh ini tingginya permintaan masih didominasi oleh China dan India. "Kami melihat perkembangan China dan India masih membutuhkan batu bara. Jadi kurang lebih 63% batu bara kita masih dibutuhkan," katanya kepada Bisnis, Kamis (2/12).

Menurut dia, adanya kenaikan permintaan tersebut merupakan hal yang wajar mengingat geliat industri mulai tahun depan juga bakal lebih kencang. Kondisi  ini dipastikan akan meningkatkan volume konsumsi listrik. Pada gilirannya, pembangkit yang masih mengandalkan batu bara sebagai bahan bakarnya juga akan memacu pencadangan.

Berdasarkan catatan Bisnis, China telah mendeklarasikan diri untuk mencapai net zero emission (NZE) atau netral karbon pada 2060. Adapun India lebih lama lagi yaitu sekitar 2070. Alhasil, permintaan terhadap Si Emas Hitam diperkirakan masih akan bertahan dalam beberapa dekade mendatang. "Jadi rasanya kalau melihat kebijakan mereka kita masih punya kesempatan tiga hingga empat dekade ke depan," kata Hendra.

Meski begitu, perusahaan tambang bersiap menghadapi adanya kebijakan pengurangan permintaan dari sejumlah negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang dan Taiwan. Kebutuhan batu bara di kawasan ini diperkirakan meredup lebih cepat dalam satu dekade ke depan. "Tapi tetap masih butuh sekitar satu dekade ke depan seperti Jepang, Taiwan," tuturnya.

Secara umum permintaan batu baru pada tahun depan diprediksi meningkat 5% seiring dengan masih tingginya harga gas di Eropa, sehingga komoditas tersebut tetap menjadi pilihan terakhir untuk menjaga ketersediaan energi.

Dalam beberapa tahun terakhir, Eropa mengalami peningkatan kebutuhan LNG. Konsumsi gas di Benua Biru naik hampir dua kali lipat. Data APBI menemukan bahwa saat ini kawasan itu mengonsumsi 80 juta ton LNG. Padahal pada 2018 konsumsi gas hanya sekitar 48 juta ton. "Transisi [energi] yang sangat cepat ini membuat batu bara meningkat permintaannya dan impor batu bara akan lebih tinggi dari tahun lalu," kata Wakil Ketua APBI Hendri Tamrin.

Kementerian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membidik produksi batu bara mencapai 625 juta ton hingga akhir 2021. Saat ini realisasi produksi telah menembus 552,17 juta ton atau sekitar 88,35% target.

BERADAPTASI

Sementara itu, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif menegaskan badan usaha pertambangan perlu serius untuk beradaptasi menuju tren transisi energi guna menekan emisi karbon. "Tren ini bukan halangan tapi peluang baru bagi pertambangan batu bara agar bisa saling kompetitif dengan menyesuaikan diri dengan keadaan," tuturnya.

Kementerian mencatat cadangan baru bara di Indonesia mencapai 144 miliar ton dan 39 miliar ton potensi lainnya pada 2020. Dari cadangan ini, diperkirakan salah satu komoditas andalan ekspor nasional tersebut masih akan bertahan hingga 70 tahun lagi.

Di sisi lain, baru bara masih menjadi bahan bakar pembangkit paling murah dibandingkan dengan energi lainnya seperti sektor minyak dan gas maupun energi baru terbarukan. Bahkan sekitar 41% dari total bahan bakar energi masih didominasi oleh batu bara.

Akan tetapi pemerintah terus bergerak maju dengan mendorong semaksimal mungkin pemanfaatan energi baru terbarukan.

Asisten Deputi Pertambangan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi Tubagus Nugraha mengatakan agenda ini perlu diimbangi dengan perencanaan yang komprehensif. "Maka perencanaan energi salah satunya harus kita susun segera. Tentunya perencanaan energi dengan memperhatikan kontribusi untuk menekan emisi dan pemanasan global."

Dia tidak menolak anggapan bahwa sektor energi sebagai salah satu penyumbang emisi karbon paling besar selain dampak deforestasi hutan. Namun harus diakui pula sektor ini dinilai paling cepat mengupayakan penggunaan energi berkelanjutan dibanding dengan kehutanan dan emisi gas. "Kelihatannya sektor energi sangat agresif. Ini menjadi perhatian."

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Regulasi ini menjadi payung untuk menggerakkan pembiayaan dan investasi hijau hingga berdampak besar pada transisi energi.

Sementara itu, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menyoroti agenda penghiliran pada sektor batu bara, karena dinilai belum menjadi solusi memuaskan untuk menekan konsumsi komoditas tersebut di tengah melimpahnya cadangan yang ada.

Intinya, kata dia, antara penghiliran dan produksi tahunan komoditas itu masih mengalami disparitas jumlah. Contohnya adalah proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME).

Proyek yang akan dilaksanakan oleh PT Bukit Asam, Tbk (PTBA) ini diproyeksi hanya akan menyerap 6 juta ton batu bara per tahun untuk memproduksi 1,4 juta ton DME sebagai pengganti gas.

Singgih menyebut penggunaan batu bara untuk proyek gasifikasi hanya sekitar 30 juta ton hingga 2030, sementara produksi tahunan Indonesia retara berada di angka 500 juta ton-600 juta ton. Tahun ini produksi batu bara ditargetkan mencapai 625 juta ton. "Ada 1.300 IUP dan PKP2B ini sudah terjebak pada produksi 600 juta ton. Jadi kalau dilihat opportunity bisa menyerap berapa [per tahun] dan dilakukan siapa?" ujarnya mempertanyakan.

Selain itu, proyek gasifikasi dipandang tidak akan menjamin percepatan transisi energi, karena agenda pemerintah itu bukan bagian dari industri pertambangan, melainkan masuk pada industri kimia. Alhasil, pemerintah harus menyiapkan transisi energi secara matang.