Harga Gas yang Adil
Harga Gas yang Adil
Media Name :
Investor Daily
Publish Date :
Friday, 03 December 2021
News Type :
Article
Section/Rubrication :
Tajuk
News Page :
5
News Size :
650 mmk
News Placement :
Front Cover Page
News URL :
-
Journalists :
Istimewa
Mindshare :
Minyak Dan Gas Bumi
Tonality :
Neutral
Topic :
Harga Gas
Ads Value :
81,250,000
PR Value :
243,750,000
Media Score :
-
Media Tier :
-
Resources
  1. None
Gas bumi yang kita miliki merupakan energi transisi yang paling tepat menuju energi bersih, yang nantinya mengandalkan energi terbarukan yang  berkesinambungan. Meski termasuk energi fosil, namun karakter gas yang paling bersih dan masih sejalan dengan komitmen dunia untuk penurunan emisi gas rumah kaca. Itulah sebabnya, negara-negara maju di Eropa pun  mengandalkan gas dan tak segan mengimpor seiring produksi mereka yang sudah menurun.

Apalagi bagi Indonesia, gas sangat strategis tak hanya untuk mencukupi kebutuhan energi bersih, namun juga solusi kunci untuk mengatasi defisit perdagangan migas yang sudah lama menggerogoti surplus neraca dagang kita. Cadangan gas bumi kita pun masih besar, cukup untuk penggunaan sekitar 18 tahun ke depan.

Bumi Pertiwi kita mengandung kekayaan gas yang besar, yang harus segera kita manfaatkan, baik untuk sumber energi bersih maupun untuk bahan baku industri strategis seperti pupuk. Sumber daya gas kita tercatat mencapai 62,4  trillion cubic feet (tcf) untuk potensi, atau sebesar 43,6 tcf cadangan terbukti.

Oleh karena itu, pemerintah harus gerak cepat meningkatkan pemanfaatan gas bumi sebagai energi transisi menuju energi bersih, mengingat pembangunan energi baru terbarukan (EBT) butuh biaya besar dan waktu untuk bisa mencukupi kebutuhan energi kita. Krisis energi di Eropa dan Tiongkok yang terjadi sekarang merupakan akibat dari produksi renewable energy yang ternyata belum dapat memenuhi kebutuhan, sementara banyak tam-bang batu bara telah ditutup untuk mengurangi emisi karbon dari energi fosil.

Pemerintah sendiri sudah mengambil sejumlah langkah dalam transisi energi bersih, yang masuk dalam grand strategy energi nasional. Ini antara lain dengan rencana meningkatkan produksi gas mencapai 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030. Program ini beriringan dengan peningkatan produksi minyak menjadi satu juta barel per hari (bph) tahun itu. Guna mencapai target tersebut dilakukan optimalisasi produksi lapangan existing, transformasi sumber daya kontinjen atau potensi ke produksi, mempercepat chemical enhanced oil recovery (EOR), dan eksplorasi penemuan besar.

Pemerintah juga memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri ketimbang ekspor. Ini termasuk dengan membangun jaringan gas kota.

Hingga tahun lalu, tercatat sudah diban gun sebanyak 535.555 sambungan rumah tangga di 17 provinsi dan 54 ka-bupaten/kota. Jumlah sambungan akan ditingkatkan hingga 10 juta rumah tangga tahun 2030 dan terus bertambah menem-bus 23 juta rumah tangga pada 2050.

Peningkatan jaringan gas itu memang sangat urgen untuk menekan impor liquefied petroleum gas (LPG). Pasalnya, pemanfaatan gas di Tanah Air menghadapi tantangan geografis, di mana sumber daya gas lebih banyak di Indonesia bagian timur, padahal konsumsi gas terbesar di Indonesia bagian barat.

Artinya, guna meningkatkan penggunaan gas domestik diperlukan infrastruk-tur. Infrastruktur strategis yang sedang dibangun di Indonesia bagian barat adalah pipa transmisi Sumatera dan Jawa, termasuk pipa gas Cirebon-Semarang dan pipa gas Dumai-Sei Mangkei. Sedangkan untuk Indonesia bagian timur menggunakan pipanisasi virtual melalui floating storage regasification unit (FSRU).
 
Namun demikian, masih dibutuhkan pembangunan infrastruktur yang lebih masif guna meningkatkan pemanfaatan gas, terutama untuk rumah tangga. Hingga September 2021, distribusi gas domestik mayoritas diserap sektor indus-tri sebesar 1.573,55 BBTUD. Berikutnya diserap sektor pupuk sebesar 503,80 BBTUD termasuk untuk bahan baku, dan sektor ketenagalistrikan sebesar 87,28 BBTUD. Sedangkan untuk kebutuhan rumah tangga masih banyak dipenuhi dari LPG impor.

Di sisi lain, ketimbang mempercepat substitusi LPG dengan produk hilirisasi batu bara berupa dimethyl ether (DME), percepatan pembangunan jaringan gas rumah tangga jauh lebih efektif untuk kepentingan nasional. Berdasarkan hasil kajian teknis, DME tidak sepenuhnya cocok digunakan untuk kompor gas konvensional, sehingga rumah tangga harus memiliki kompor dengan spesifikasi khusus untuk menggunakan DME. Sedangkan lewat jaringan gas bumi bisa menggunakan kompor yang sama untuk LPG sekarang.

Oleh karena itu, percepatan pembangunan jaringan gas bumi harus lebih didahulukan dari program DME, apalagi hal ini juga berarti bisa mendukung penggunaan produk pipa industri dalam negeri. Kalau pasokan gas bumi sudah kurang, barulah program DME dilakukan.

Langkah lain yang tak kalah penting adalah perlunya evaluasi kebijakan harga gas yang sebagian diatur oleh pemerintah, yakni sebesar US$ 6 per mmbtu kepada 7 sektor industri dan rencana ada penambahan 13 sektor industri yang lain. Padahal, di sejumlah ladang migas, ada yang biaya produksinya sudah  US$ 6 per mmbtu di mulut sumur.

Artinya, kebijakan pemerintah untuk membantu daya saing indus-tri penting di dalam negeri itu juga tidak boleh merugikan kepentingan industri permigasan dari hulu hingga hilir. Pemerintah juga harus adil, harus melindungi pula kesehatan dan pengembangan industri permigasan di Tanah Air.

Jangan sampai industri gas di Tanah Air menjadi tidak sehat, tidak menarik untuk investasi. Jangan sampai industri permigasan ini terganggu sehingga justru tidak dapat memberikan kecukupan dan kepastian pasokan gas bagi kelangsungan industri dalam negeri.

Oleh karena itu, semua pihak perlu duduk bersama mengevaluasi kebijakan harga gas. Upaya ini bisa dilakukan dengan bersama-sama menunjuk tim audit independen dan kapabel untuk menentukan kelayakan harga gas, yang memberi ruang hidup yang sehat untuk pelaku industri gas maupun industri konsumennya.

Penetapan harga gas juga perlu mempertimbangkan perkembangan harga di pasar internasional yang dapat menjadi rujukan. Hal ini mengingat ketika demand anjlok karena banyak industri tutup saat awal pandemi Covid-19, pelaku industri gaslah yang kebagian harus menanggung kerugian besarnya. Pemerintah juga harus mempertimbangkan pula bahwa perusahaan gas ini ada yang sudah go public, sehingga harus pula bersikap adil dalam menjaga kepercayaan investor publik.