Membatasi Emisi Pembangkit Listrik untuk Hindari Penalti
Membatasi Emisi Pembangkit Listrik untuk Hindari Penalti
Media Name :
Koran Tempo
Publish Date :
Friday, 03 December 2021
News Type :
Article
Section/Rubrication :
Ekonomi dan Bisnis
News Page :
-
News Size :
1 mmk
News Placement :
Front Cover Page
News URL :
-
Journalists :
Vindry Florentin
Mindshare :
Ketenagalistrikan
Tonality :
Neutral
Topic :
PLTU Batubara
Ads Value :
110,000
PR Value :
330,000
Media Score :
-
Media Tier :
-
Resources
  1. Fabby Tumiwa - Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengatur besaran batas atas (cap) emisi gas rumah kaca untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Nilai cap ini akan menjadi dasar penetapan pajak karbon terbatas pada PLTU.

Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian Energi, Wanhar, mengatakan pihaknya mengusulkan cap diatur berdasarkan tiga jenis pembangkit. “Kami usul (diatur dalam) keputusan menteri,” ujar Wanhar kepada Tempo, kemarin.

Jenis pertama adalah PLTU berkapasitas terpasang lebih besar dari 400 megawatt (MW) dengan nilai cap 0,918 ton CO2 per megawatt-hour (MWh). Jenis lainnya adalah PLTU dengan kapasitas 100-400 MW diberi batasan emisi 1,012 ton CO2 per MWh. Terakhir, untuk PLTU Mulut Tambang dengan kapasitas 100-400 MW, emisinya akan dibatasi sampai 1,094 ton CO2 per MWh.

Usul angka ini sama persis dengan yang digunakan Kementerian Energi saat uji coba perdagangan karbon PLTU batu bara pada Maret hingga Agustus lalu. Wanhar mengingat proses penetapan cap saat itu sangat alot. “Susah meyakinkan pelaku usaha,” kata dia.

Salah satu kendalanya adalah banyaknya jenis pembangkit uap di dalam negeri. Tak cuma memiliki perbedaan kapasitas—dari 7 MW hingga di atas 1.000 MW—teknologi yang digunakan juga beragam. Itu sebabnya Kementerian tidak menerapkan satu nilai batas atas emisi.

Untuk jangka panjang, Wanhar menyatakan pemerintah juga akan menentukan batas atas emisi PLTU jenis lain, seperti pembangkit dengan kapasitas di bawah 100 MW. Selain itu, pembangkit yang dioperasikan industri akan diatur agar bisa berpartisipasi.

Uji coba perdagangan karbon dilakukan Kementerian Energi dengan mengundang pemilik PLTU untuk melaksanakan perdagangan karbon secara sukarela. Sebab, jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, perdagangan karbon akan diwajibkan pada 2024.

Kegiatan uji coba yang hanya diikuti 32 unit dari target 84 unit PLTU batu bara ini kemudian menjadi landasan pemerintah dalam mengatur pajak karbon. Peneliti Ahli Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Hadi Setiawan, menyatakan skema pungutan karbon diselaraskan dengan mekanisme perdagangan karbon.

Hadi menjelaskan, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari batas atas harus membeli izin emisi dari entitas lain yang menghasilkan emisi di bawah cap atau membeli sertifikat penurunan emisi. “Jadi, dia baru membayar pajak ketika hasil pembelian sertifikatnya tidak cukup untuk menutupi besaran emisi yang dia keluarkan,” katanya.

Berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pungutan atas karbon dikenakan mulai 1 April 2021 dan berlaku terbatas pada badan pengelola PLTU batu bara. Tarif pajaknya sebesar Rp 30 ribu per ton CO2 ekuivalen untuk tahap awal. Hadi menyatakan, ke depan, tarif ini menyesuaikan dengan harga di bursa perdagangan karbon.

Hingga saat ini pemerintah masih mempersiapkan pasar karbon. Jika pasarnya belum terbentuk sampai waktu penerapan pajak karbon tiba, Hadi menuturkan, pelaksanaan pungutan akan merujuk pada kegiatan uji coba yang telah dilakukan Kementerian ESDM.

“Jadi, nanti kegiatan yang di ESDM mungkin namanya bukan piloting lagi, tapi sudah menjadi pasar,” tutur Hadi. Kementerian Keuangan akan meminta Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, sebagai pihak yang berwenang mengatur pasar karbon, mengeluarkan payung hukum kegiatan perdagangan tersebut.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform, Fabby Tumiwa, tak yakin pasar karbon sudah siap dijalankan pada awal tahun depan. Salah satu indikatornya adalah belum adanya informasi mengenai allowance besaran emisi yang boleh dihasilkan sektor tertentu. Padahal hal ini penting untuk membentuk harga karbon di pasar.

Terlepas dari kesiapan perdagangan karbon, Fabby menyebutkan rencana pemerintah menggabungkan cap, perdagangan karbon, dan pajak karbon pembangkit listrik kurang pas. Dengan penalti yang rendah dan batas atas emisi yang masih tinggi, sulit mendorong perubahan perilaku para penghasil emisi. “Ingat, kita mendesain carbon pricing itu untuk mengubah perilaku, bukan sekadar orang membayar emisi dan ada penerimaan negara,” tuturnya.